Archief voor de ‘Mensenrechtenorganistaties’ Categorie

bron: Kontras (Indonesische mensenrechtenorganisatie)

Surat terbuka: Mendesak perhatian khusus bagi kesehatan tapol napol

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) hari ini menerima berita duka meninggalnya aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) bernama Yusuf Sipakoli. Yusuf Sipakoli meninggal dunia setelah menjalani perawatan intensif di rumah sakit umum di Kudamati, Ambon. Perawatan di RS Yusuf Sipakoli setelah pihak Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Ambon menyerahkan pengobatan Yusuf ke pihak keluarganya pada minggu pertama september 2010.

Sejak resmi ditahan pada 29 Juni 2007 silam, korban selalu mengeluhkan sakit di bagian rusuk dan divonis menderita gagal ginjal. Selain itu, selama ditahan di LP Kelas II Ambon, korban tidak pernah mendapatkan perawatan medis sekalipun penyakit gagal ginjal yang dideritanya mengharuskan korban menjalani cuci darah. Kondisi korban yang semakin kritis membuat pihak LP kemudian menyerahkan korban kepada pihak keluarga untuk pengobatan lebih lanjut.

Kondisi kesehatan Tapol/Napol seperti Yusuf Sipakoli tentunya juga banyak dialami oleh para Tapol/Napol lainnya saat ini. Belum lama ini, Filep Karma, seorang tapol di Papua juga mengalami hal yang sama dan menuntut dengan keras upayanya kepada pemerintah untuk dapat mengakses kesehatan yang lebih maksimal. Akses ini pun sebelumnya sulit untuk dijangkau olehnya karena izin yang keluar dari Lembaga Pemasyarakatan sangat sulit. Perlu juga ditekankan bahwa penyakit yang diderita oleh Tapol/Napol sekarang ini sebagai dampak dari penyiksaan saat mereka diintergorasi. Hal ini menunjukkan semakin buruknya layanan hak atas kesehatan terhadap Tapol/Napol RMS di beberapa lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Padahal layanan kesehatan yang manusiawi harus diberikan kepada semua pihak tanpa kecuali.

Kontras meminta Presiden untuk mendesak pihak-pihak terkait segera melakukan pembenahan atas akses kesehatan para Tapol/napol tersebut. Hal ini penting mengingat setiap narapidana memiliki hak seperti akses kesehatan dan hak untuk tidak mendapat penyiksaan di dalam tahanan. Lebih khusus kami meminta Menteri Hukum dan HAM untuk memberikan jaminan akses kesehatan bagi korban sekaligus meminta adanya sanksi yang diberikan terhadap Ketua LP Kelas II Ambon yang tidak menyediakan akses kesehatan terhadap para narapidananya.

Terkait dengan kematian Yusuf Sipakoli, KontraS juga mendesak pemerintah untuk mengusut lebih jauh kematian Yusuf, mengingat penyakit yang dideritanya juga menjadi bagian dari indikasi penyiksaan yang terjadi selama atau paska proses interogasi.

Demikian hal ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 13 September 2010
Badan Pekerja KontraS

Haris Azhar
Koordinator

Bron: Amnesty International Nederland

14 september 2010 Amnesty wil dat de Indonesische regering een onderzoek instelt naar de dood van de 52-jarige Molukse activist Yusuf Sapakoly. In een gevangenis in Ambon waar hij verbleef werd hem medische noodhulp ontzegd. Kort daarna overleed hij door nierfalen.
Volgens lokale bronnen had Sapakoly al geruime tijd dialyse nodig voor zijn nierfalen, maar werd hem deze zorg steeds ontzegt door de leiding in de Nania gevangenis in Ambon. Sapakoly heeft ook geen goede verzorging gekregen voor de verwondingen aan zijn ribben die hij detentie had opgelopen.

De vader van vier kinderen werd in 2007 gearresteerd voor het assisteren van een groep van vreedzame politieke activisten die voor de ogen van de Indonesische president de “Benang Raja” vlag uitrolde, een symbool van onafhankelijkheid van Zuid-Molukken.

‘Het niet verlenen van noodzakelijke medische zorg aan Yusuf Sapakoly heeft bijgedragen aan wrede, onmenselijke en vernederende behandeling door de gevangenisautoriteiten’, aldus Donna Guest, Azië-Pacific directeur van Amnesty International.

‘De Indonesische regering moet onmiddellijk een onafhankelijk, effectief en onpartijdig onderzoek instellen naar de beschuldigingen dat Yusuf Sapakoly medische verzorging is ontzegd.’

Lees verder in het Engelstalige persbericht.

De internationale mensenrechtenorganisatie Human Rights Watch heeft een kantoor geopend in Amsterdam.  13 september was er een persconferentie, en 14 september is de officiële opening. Maar al voor de officiele opening is HRW Nederland al aan het werk geweest en heeft zij een brief geschreven aan informateur Willink.

De brief heeft een mooie afsluiting, namelijk een oproep voor de gewetensgevangenen uit de Molukken en Papua. De brief ging cc naar alle fractievoorzitters.

Hieronder de paragraaf:

De Nederlandse regering dient bij de Indonesische regering aan te dringen op vrijlating van alle politieke gevangen in Papua en op de Molukken, waar tientallen onafhankelijkheidsstrijders zijn veroordeeld voor het hijsen van de ‘Morning Star’ of de vlag van de Zuid-Molukse Republiek, evenals de vrijlating van andere gevangenen die vastzitten voor vreedzame uitingen van hun politieke of religieuze overtuigingen. Tevens moet zij aandringen op intrekking van artikelen uit het Wetboek van Strafrecht (een Nederlandse erfenis) die zijn gebruikt om mensen vast te zetten voor hun rechtmatige, vreedzame activiteiten, waaronder artikelen over ‘hoogverraad’.

Voor de gehele brief: http://www.hrw.org/node/93043

Bron: Amnesty International

13 September 2010

The Indonesian government has been urged to investigate today’s death of a Maluku political activist who was denied urgent medical care in prison.

Yusuf Sapakoly, 52, died of kidney failure in a hospital in Ambon after being refused access to adequate medical assistance by prison authorities.

The father-of-four was arrested in 2007 for assisting a group of peaceful political activists who unfurled the “Benang Raja” flag, a symbol of South Maluku independence, in front of the Indonesian president.

“The denial of urgently needed medical care to Yusuf Sapakoly amounts to cruel, inhuman or degrading treatment by prison authorities..” said Donna Guest, Asia-Pacific Deputy Director at Amnesty International.

“The Indonesian government must immediately initiate an independent, effective, and impartial inquiry into allegations that he was denied medical care.”

Yusuf Sapakoly required dialysis for kidney failure but was consistently denied treatment by authorities at Nania prison, according to local sources. He also said he did not receive adequate treatment for rib injuries he had suffered in detention.

Prison authorities released the activist into the care of his family on 7 September as his condition deteriorated, but he was still considered a prisoner.

Yusuf Sapakoly was arrested on 29 June 2007 after activists unfurled the “Benang Raja” flag, while performing a traditional “Cakalele” dance, in front of President Susilo Bambang Yudhoyono.

After reportedly being tortured in detention, he was charged with “rebellion” and sentenced to 12 years’ imprisonment.

“The treatment of Yusuf Sapakoly violates Indonesia’s obligations under international human rights law, as well as Indonesian law,” said Donna Guest.

Amnesty International has highlighted two other recent cases where Indonesian prisoners of conscience have seen their right to health violated.

In July, Papuan prisoner of conscience Filep Karma had to wait nine months for permission from the authorities to travel to Jakarta from Abepura prison for prostate surgery.

Johan Teterissa, the leader of the “Cakalele” dancers from Maluku, has also not received adequate medical treatment for injuries he suffered after being beaten and kicked by police officers in 2007. He says he can no longer see properly and cannot sleep as a result of the pain he suffers.

“The Indonesian government must review the prison health services and ensure that all prisoners have adequate access to regular health check-ups and are provided with proper medical care in accordance with their specific needs,” said Donna Guest.